Setelah bulan lalu Ladida's posting soal keunikan Google, sekarang giliran Apple yang bakal dibahas. Ada juga keunikan yang dimiliki Apple. Siapa yang tak kenal Apple ?? Perusahaan yang memproduksi gadget yang berguna dan inovatif. Iklannya pun terpampang dimana-mana, hohoo. Ok langsung saja aku kasih tau keunikannya. Check 'em out bro 'n sis !!!Logo Pertama AppleTau logo pertama Apple ?? Logo
Baca Lebih Lanjut
Kategori:
Unique,
Web News
Hari Kiamat OS XP dan 2000
22.00
Artikel By
Kakunik
Bagi manusia, isu kiamat 2012 sudah tenar beredar dimana-mana, bahkan sampai dibuat film. Tetapi kita sebagai manusia beriman tidak boleh terlalu percaya oleh isu-isu kurang jelas seperti itu. Tapi bagi Operating System Win XP dan Win 2000, 13 Juli 2010 merupakan hari kiamat.Menurut Adrian Stone, Senior Security Program Manager Lead dan Jerry Bryant, Group Manager, Response Communications
Baca Lebih Lanjut
Kategori:
Web News
Links
21.35
Artikel By
Kakunik
Maaf, untuk tukar link saat ini ditutup. Terima kasih.
JIKA ADA BROKEN LINK, AKAN DIHAPUS
[ A ]
AboeSite
Adibey Blog
Adifc
Agus' Site
Alamathur
Aliz Bomb
All About Anime
All Articles Website
All in One Place
Amaliaameel
Anarchy Blog
Angel Faced
Anggasona-Anotherbestblog
Animal Space
Animesky
Anime and Sport
Antena Bugil
Archcom
Archv3nture
Artikel Angel
Artinya Kehidupan
Asal Kamu Tahu Aja
Baca Lebih Lanjut
Kategori:
How to,
Links
JIKA ADA BROKEN LINK, AKAN DIHAPUS
[ A ]
AboeSite
Adibey Blog
Adifc
Agus' Site
Alamathur
Aliz Bomb
All About Anime
All Articles Website
All in One Place
Amaliaameel
Anarchy Blog
Angel Faced
Anggasona-Anotherbestblog
Animal Space
Animesky
Anime and Sport
Antena Bugil
Archcom
Archv3nture
Artikel Angel
Artinya Kehidupan
Asal Kamu Tahu Aja
Main di Dunia Maya, Jangan Lupa Dunia Nyata
12.56
Artikel By
Kakunik
Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun kini akrab dengan jejaring sosial di dunia maya. Mereka asyik meluaskan pergaulan di sana hingga acap lupa dengan dunia nyata. Peran orangtualah untuk mencegah anak hanya aktif di dunia maya.
Sahla, murid kelas 4 SD di wilayah Jakarta Selatan, telah kenal internet sejak kelas 3 SD. Ibunya yang memang aktif di dunia mayalah yang memperkenalkan teknologi itu pada anak pertamanya itu. Sekarang anak usia 9 tahun itu aktif di jejaring sosial facebook dan menjalin pertemanan dengan teman-teman sebaya lainnya di dunia maya. Dengan memalsukan tahun lahirnya tentu, mengingat situs ini sesungguhnya mensyaratkan usia 17 tahun untuk mendaftar. Repotnya, kalau sudah asyik, Sahla bisa berjam-jam duduk di depan komputer dan tak sempat lagi bermain bersama teman-teman di sekitar rumahnya.
Beberapa tahun belakangan memang semakin banyak saja anak yang akrab dengan jejaring sosial di dunia maya.
Mengenalkan dan membuat aturan
Teknologi informasi dalam bentuk internet yang semakin berkembang, sudah tentu mengandung sisi negatif dan sisi positif buat orang dewasa, juga buat anak-anak. Sisi positifnya misalnya banyak informasi yang bisa mereka dapatkan di internet yang berguna bagi tugas-tugas sekolah mereka, atau mereka juga jadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris yang memang menjadi bahasa komputer dan internet secara umum. Aktif di jejaring sosial juga membuat anak bebas berekspresi dan berbagi cerita dengan teman-temannya dari berbagai tempat di dunia. Banyak teman baru yang mereka dapatkan dengan hanya duduk di depan komputer. Wawasan mereka pun bertambah luas.
Sementara sisi negatifnya antara lain anak-anak mudah mengakses situs-situs yang tidak baik dan dapat merusak mereka, misalnya situs-situs berisi kekerasan, antisosial atau malah porno. Atau internet juga bisa menyebabkan anak hanya asyik di depan komputer dan mengabaikan aktivitas bersosial dengan teman sebaya di lingkungan sendiri.
Melindungi anak dari terpaan negatif teknologi membuat sebagian orangtua menghalangi anak mengakses internet sama sekali. Namun tindakan untuk menghalangi anak mengakses internet plus jejaring sosial yang ada saat ini, seperti friendster, facebook atau yang terbaru twitter, tidaklah bijaksana. “Kita tidak bisa menolak dari perkembangan yang ada saat ini. Harus kita akui, ada manfaat yang bisa kita ambil dari perkembangan ini. Hingga mau tak mau kita harus mempersiapkan anak menghadapi perkembangan zaman ini,” kata psikolog Evi Elviati. Yang utama dilakukan orangtua adalah menjelaskan pada anak tentang sisi positif dan sisi negatif teknologi tersebut. Dengan bekal ini anak setahap demi setahap dikenalkan pada teknologi informasi ini.
Adalah lebih bijaksana bila orangtua yang mengenalkan perkembangan terbaru ini, apalagi bila di rumah sudah tersedia fasilitas internet. Kalau pun tak diajarkan di rumah karena orangtua tak mau mengajarkannya, mereka bisa mengaksesnya di tempat lain, misalnya di warnet. Ini tentu lebih mengkhawatirkan lagi karena di luar pengawasan orangtua. “Kadang sebelum kita kasih tahu, mereka sudah lebih dulu tahu. Mungkin dari teman-temannya,” ujar Evi.
Bila memang orangtua sendiri tak memahami teknologi ini, maka tak ada ruginya bagi orangtua untuk mempelajari hal ini dari berbagai sumber yang ada. Idealnya, orangtua memahami lebih dulu teknologi ini dibanding anak-anak. Bagaimana orangtua bisa mengarahkan anak – misalnya tentang situs mana yang boleh dibuka dan situs mana yang tidak boleh dibuka atau bagaimana memblokir situs porno – bila orangtua tak dapat mengoperasikan komputer, apalagi mengakses internet? Namun, bila anak sudah tahu lebih dulu dari orangtua, jangan malu untuk minta diajari oleh anak.
Mengenai usia yang ideal, Evi memberi kisaran usia anak kelas 3 SD untuk tahap pengenalan. Sementara untuk mempraktikkan sendiri sekitar usia kelas 4 dan kelas 5 SD.
Batasan-batasan pun sudah pasti harus diberikan orangtua, papar ibu 2 anak laki-laki ini. Pertama, tentang waktu. Pada waktu apa saja anak boleh mengakses internet, misalnya saat libur atau setelah semua tugas mereka selesai. Kedua, tentang isi atau konten. Hanya konten yang baik saja yang boleh mereka akses. Sementara untuk jejaring sosial di dunia maya, hanya gambar atau cerita yang aman dan sopan saja yang bisa mereka ceritakan dan mereka bagi di sana. Jangan sampai menyakiti pihak lain, seperti kasus artis muda Marshanda yang mengolok-olok teman-temannya di internet.
Lalu yang tak boleh diabaikan orangtua adalah kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas anak di dunia maya tersebut. “Kepentingan orangtua di situ adalah untuk melihat siapa teman-teman dia di sana dan bagaimana mereka. Bahkan memilihkan teman yang baik buat anak pun berlaku juga di dunia maya. Bagaimana anak bisa menjadi baik bila teman-temannya tidak baik,” terang Evi.
Tindakan ini, menurut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, dimaksudkan bukan untuk mengganggu privasi anak. Karena dalam prosesnya di sana orangtua hanya memonitor saja dan memberi masukan-masukan pada anak. Tentu saja proses ini hanya bisa terjadi setelah sebelumnya memang telah tercipta keterbukaan dalam keluarga tersebut.
Ciptalkan pergaulan di dunia nyata
Dengan keasyikan meng-update status dan chatting, apalagi ditambah bermain game online di dunia maya, seringkali membuat anak lupa waktu dan tak sempat lagi bergaul dengan teman-teman di lingkungannya. Jangankan bermain, untuk belajar atau hal-hal penting lainnya pun diacuhkan. Kondisi inilah yang harus diwaspadai orangtua. “Ini jelas tidak sehat. Anak jadi kecanduan dan mengabaikan semua kegiatannya. Hal ini juga menjadikan anak-anak pribadi yang egois,” kata Evi.
Walaupun ada manfaat yang bisa didapat anak dari aktivitas di dunia maya, tetap saja pergaulan dengan teman-teman sebaya di lingkungannya tak boleh ditinggalkan. Walau sama-sama ‘bergaul’ , jelas pergaulan di dunia nyatalah yang bisa membuat keterampilan sosial anak terasah secara optimal. “Di dunia maya, anak hanya bertukar informasi secara verbal. Namun di dunia nyata, mereka bisa saling bertatap muka, saling mengeluarkan emosi dan bahasa tubuh, sehingga keterampilan sosial mereka pun terasah dengan baik,” papar psikolog kelahiran Jakarta 39 tahun silam ini.
Rasa simpati dan empati anak yang merupakan bekal bersosialisasi dalam kehidupan dewasanya kelak juga bisa tergali dalam pergaulan di dunia nyata. Sementara itu, pergaulan di dunia maya pun tak akan sedekat dan sejujur dalam dunia nyata, apalagi siapa yang berani menjamin apa-apa yang diungkapkan teman di dunia maya benar. Kebohongan dan tipuan amat mudah dilakukan di sana.
Masalahnya, banyak anak yang tenggelam dalam dunia maya lantaran dalam kesehariannya mereka tak punya teman, entah karena lingkungan yang sedikit anak-anak sebaya atau karena mereka merasa teman-teman di sekitarnya tak menyenangkan buatnya. “Maka tugas orangtua untuk menciptakan lingkungan dimana anak bisa bergaul, misalnya dengan diikutkan kursus atau di sekolah anak didorong untuk bergaul. Atau bila liburan, ajak anak ke rumah saudara-saudara kita sehingga mereka bisa bermain bersama sepupunya. Yang penting ciptakan lingkungan bermain buat anak,” terang Evi.
Mengabaikan kebutuhan anak akan lingkungan bermain yang nyata bisa berakibat buruk bagi perkembangan otak dan sosialisasi anak. Apalagi di masa kanak-kanaklah masa terbaik untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam dirinya, termasuk kemampuan untuk bersosialisasi.
Karena internet juga bisa diakses dari handphone yang sekarang memang menyediakan fasilitas itu, Evi mengingatkan para orangtua agar tidak memberi anak handphone berfitur banyak dengan fasilitas lengkap. Pengawasan penggunaan handphone memang relatif lebih sulit dibandingkan penggunaan personal computer (PC) dan laptop karena bentuk handphone yang kecil mudah dibawa dan disembunyikan. Berikan anak – kalau memang harus dan benar-benar perlu – handphone yang sesuai tujuannya saja, misalnya untuk kelancaran komunikasi dengan orangtua atau keluarga. “Apalah arti prestise memberikan anak handphone yang canggih, kalau ternyata lewat situ pula anak-anak bisa mengakses segala hal yang berbahaya dan merusak,” kata Evi.
Memang tidak pernah mudah menjadi orangtua, terlebih menjadi orangtua masa kini dengan berbagai terpaan dari segala penjuru yang kian dahsyat. Masa depan anak jadi taruhannya. Maka upaya membekali diri dengan berbagai pengetahuan harus terus dilakukan orangtua, salah satunya mengikuti perkembangan teknologi.
sumber : ummi-online.com
Sahla, murid kelas 4 SD di wilayah Jakarta Selatan, telah kenal internet sejak kelas 3 SD. Ibunya yang memang aktif di dunia mayalah yang memperkenalkan teknologi itu pada anak pertamanya itu. Sekarang anak usia 9 tahun itu aktif di jejaring sosial facebook dan menjalin pertemanan dengan teman-teman sebaya lainnya di dunia maya. Dengan memalsukan tahun lahirnya tentu, mengingat situs ini sesungguhnya mensyaratkan usia 17 tahun untuk mendaftar. Repotnya, kalau sudah asyik, Sahla bisa berjam-jam duduk di depan komputer dan tak sempat lagi bermain bersama teman-teman di sekitar rumahnya.
Beberapa tahun belakangan memang semakin banyak saja anak yang akrab dengan jejaring sosial di dunia maya.
Mengenalkan dan membuat aturan
Teknologi informasi dalam bentuk internet yang semakin berkembang, sudah tentu mengandung sisi negatif dan sisi positif buat orang dewasa, juga buat anak-anak. Sisi positifnya misalnya banyak informasi yang bisa mereka dapatkan di internet yang berguna bagi tugas-tugas sekolah mereka, atau mereka juga jadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris yang memang menjadi bahasa komputer dan internet secara umum. Aktif di jejaring sosial juga membuat anak bebas berekspresi dan berbagi cerita dengan teman-temannya dari berbagai tempat di dunia. Banyak teman baru yang mereka dapatkan dengan hanya duduk di depan komputer. Wawasan mereka pun bertambah luas.
Sementara sisi negatifnya antara lain anak-anak mudah mengakses situs-situs yang tidak baik dan dapat merusak mereka, misalnya situs-situs berisi kekerasan, antisosial atau malah porno. Atau internet juga bisa menyebabkan anak hanya asyik di depan komputer dan mengabaikan aktivitas bersosial dengan teman sebaya di lingkungan sendiri.
Melindungi anak dari terpaan negatif teknologi membuat sebagian orangtua menghalangi anak mengakses internet sama sekali. Namun tindakan untuk menghalangi anak mengakses internet plus jejaring sosial yang ada saat ini, seperti friendster, facebook atau yang terbaru twitter, tidaklah bijaksana. “Kita tidak bisa menolak dari perkembangan yang ada saat ini. Harus kita akui, ada manfaat yang bisa kita ambil dari perkembangan ini. Hingga mau tak mau kita harus mempersiapkan anak menghadapi perkembangan zaman ini,” kata psikolog Evi Elviati. Yang utama dilakukan orangtua adalah menjelaskan pada anak tentang sisi positif dan sisi negatif teknologi tersebut. Dengan bekal ini anak setahap demi setahap dikenalkan pada teknologi informasi ini.
Adalah lebih bijaksana bila orangtua yang mengenalkan perkembangan terbaru ini, apalagi bila di rumah sudah tersedia fasilitas internet. Kalau pun tak diajarkan di rumah karena orangtua tak mau mengajarkannya, mereka bisa mengaksesnya di tempat lain, misalnya di warnet. Ini tentu lebih mengkhawatirkan lagi karena di luar pengawasan orangtua. “Kadang sebelum kita kasih tahu, mereka sudah lebih dulu tahu. Mungkin dari teman-temannya,” ujar Evi.
Bila memang orangtua sendiri tak memahami teknologi ini, maka tak ada ruginya bagi orangtua untuk mempelajari hal ini dari berbagai sumber yang ada. Idealnya, orangtua memahami lebih dulu teknologi ini dibanding anak-anak. Bagaimana orangtua bisa mengarahkan anak – misalnya tentang situs mana yang boleh dibuka dan situs mana yang tidak boleh dibuka atau bagaimana memblokir situs porno – bila orangtua tak dapat mengoperasikan komputer, apalagi mengakses internet? Namun, bila anak sudah tahu lebih dulu dari orangtua, jangan malu untuk minta diajari oleh anak.
Mengenai usia yang ideal, Evi memberi kisaran usia anak kelas 3 SD untuk tahap pengenalan. Sementara untuk mempraktikkan sendiri sekitar usia kelas 4 dan kelas 5 SD.
Batasan-batasan pun sudah pasti harus diberikan orangtua, papar ibu 2 anak laki-laki ini. Pertama, tentang waktu. Pada waktu apa saja anak boleh mengakses internet, misalnya saat libur atau setelah semua tugas mereka selesai. Kedua, tentang isi atau konten. Hanya konten yang baik saja yang boleh mereka akses. Sementara untuk jejaring sosial di dunia maya, hanya gambar atau cerita yang aman dan sopan saja yang bisa mereka ceritakan dan mereka bagi di sana. Jangan sampai menyakiti pihak lain, seperti kasus artis muda Marshanda yang mengolok-olok teman-temannya di internet.
Lalu yang tak boleh diabaikan orangtua adalah kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas anak di dunia maya tersebut. “Kepentingan orangtua di situ adalah untuk melihat siapa teman-teman dia di sana dan bagaimana mereka. Bahkan memilihkan teman yang baik buat anak pun berlaku juga di dunia maya. Bagaimana anak bisa menjadi baik bila teman-temannya tidak baik,” terang Evi.
Tindakan ini, menurut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, dimaksudkan bukan untuk mengganggu privasi anak. Karena dalam prosesnya di sana orangtua hanya memonitor saja dan memberi masukan-masukan pada anak. Tentu saja proses ini hanya bisa terjadi setelah sebelumnya memang telah tercipta keterbukaan dalam keluarga tersebut.
Ciptalkan pergaulan di dunia nyata
Dengan keasyikan meng-update status dan chatting, apalagi ditambah bermain game online di dunia maya, seringkali membuat anak lupa waktu dan tak sempat lagi bergaul dengan teman-teman di lingkungannya. Jangankan bermain, untuk belajar atau hal-hal penting lainnya pun diacuhkan. Kondisi inilah yang harus diwaspadai orangtua. “Ini jelas tidak sehat. Anak jadi kecanduan dan mengabaikan semua kegiatannya. Hal ini juga menjadikan anak-anak pribadi yang egois,” kata Evi.
Walaupun ada manfaat yang bisa didapat anak dari aktivitas di dunia maya, tetap saja pergaulan dengan teman-teman sebaya di lingkungannya tak boleh ditinggalkan. Walau sama-sama ‘bergaul’ , jelas pergaulan di dunia nyatalah yang bisa membuat keterampilan sosial anak terasah secara optimal. “Di dunia maya, anak hanya bertukar informasi secara verbal. Namun di dunia nyata, mereka bisa saling bertatap muka, saling mengeluarkan emosi dan bahasa tubuh, sehingga keterampilan sosial mereka pun terasah dengan baik,” papar psikolog kelahiran Jakarta 39 tahun silam ini.
Rasa simpati dan empati anak yang merupakan bekal bersosialisasi dalam kehidupan dewasanya kelak juga bisa tergali dalam pergaulan di dunia nyata. Sementara itu, pergaulan di dunia maya pun tak akan sedekat dan sejujur dalam dunia nyata, apalagi siapa yang berani menjamin apa-apa yang diungkapkan teman di dunia maya benar. Kebohongan dan tipuan amat mudah dilakukan di sana.
Masalahnya, banyak anak yang tenggelam dalam dunia maya lantaran dalam kesehariannya mereka tak punya teman, entah karena lingkungan yang sedikit anak-anak sebaya atau karena mereka merasa teman-teman di sekitarnya tak menyenangkan buatnya. “Maka tugas orangtua untuk menciptakan lingkungan dimana anak bisa bergaul, misalnya dengan diikutkan kursus atau di sekolah anak didorong untuk bergaul. Atau bila liburan, ajak anak ke rumah saudara-saudara kita sehingga mereka bisa bermain bersama sepupunya. Yang penting ciptakan lingkungan bermain buat anak,” terang Evi.
Mengabaikan kebutuhan anak akan lingkungan bermain yang nyata bisa berakibat buruk bagi perkembangan otak dan sosialisasi anak. Apalagi di masa kanak-kanaklah masa terbaik untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam dirinya, termasuk kemampuan untuk bersosialisasi.
Karena internet juga bisa diakses dari handphone yang sekarang memang menyediakan fasilitas itu, Evi mengingatkan para orangtua agar tidak memberi anak handphone berfitur banyak dengan fasilitas lengkap. Pengawasan penggunaan handphone memang relatif lebih sulit dibandingkan penggunaan personal computer (PC) dan laptop karena bentuk handphone yang kecil mudah dibawa dan disembunyikan. Berikan anak – kalau memang harus dan benar-benar perlu – handphone yang sesuai tujuannya saja, misalnya untuk kelancaran komunikasi dengan orangtua atau keluarga. “Apalah arti prestise memberikan anak handphone yang canggih, kalau ternyata lewat situ pula anak-anak bisa mengakses segala hal yang berbahaya dan merusak,” kata Evi.
Memang tidak pernah mudah menjadi orangtua, terlebih menjadi orangtua masa kini dengan berbagai terpaan dari segala penjuru yang kian dahsyat. Masa depan anak jadi taruhannya. Maka upaya membekali diri dengan berbagai pengetahuan harus terus dilakukan orangtua, salah satunya mengikuti perkembangan teknologi.
sumber : ummi-online.com
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
12.48
Artikel By
Kakunik
Ada seorang siswa kelas satu yang menyukai siswa kelas tiga,K`Abu yang di cintai Nova tapi K`Abu gak pernah tau klo Nova mencintainya beginilah cerita selnjutnya pada suatu ketika
K`Abu dapat amanat dari orang tua kelas satu untuk jagain Dea, padahal k`Abu tahu kalau Nova suka sama k’Abu…
Waktu Dea sakit, k’Abu kayaknyamesra banget sama Dea begitu pun Dea sangat manja sekali sama k’Abu, di satu sisi Nova sangat sayang sekali pada k’Abu…
Suatu ketika Dea pulang bareng dengan k’Abu, nah kebetulan Nova melihat Dea di boncengi motyor dengan k’Abu… tapi apa k’Abu tidak menjaga persaan Nova yang sedang sakit hati ngeliat mereka berduaan….
Terpaksa niva harus curhat sama kakak kelas yang lain yaitu Dwi orang yang Nova percayai untuk menampung curhatannya…
“k’Dwi kayaknya k’Abu suka deh sama Dea….”;
“ ya sudah loe jangan ngarepin k’Abu terus, kan masih babnyak cowo lalin yang lebih baik…”
“iya… k’, gw tau tapi gimana sih namanya juga udah terlanjur sayang susah untuk di lupain…”
“iya sih,,, tapi kan dari pada loe terus-terusan di buat sakit hati sama k’Abu..”
“Duhhh k’ enggak gampang buat ngelupain gitu aja gw udah sayang banget sama k’Abu..”
Ya gw sih kasihan aja liat loe terus sakit hati karena ngeliat mereka mesra-mesraan..”
Sebenarnya Dwi kasihan dengan Nova tapi n mau giman lagi novanya pun udah terlanjur sayang sama k’Abu, ya jadi Dwi hanya bisa diam saja mau ngelarang Nova buat ngeliupapin tapi Novanya sasja enggak bisa ngwlupain k’Abu…”
Dwi juga sempat bingung melihat keadaan sekarang , tapi Dwi mau gimana lagi, itu kan udah hak k’Abu mau suka sama asiapa dann Dwi juga gak bisa maksa k’Abu untuk suka sama Nova….
Akhirnya Nova hanya bia sakit hati ketika melihat k’Abu dengan Dea, tapi mau gimana lagi namanya juga udah sayang bsnget susah deh buat di lupain … akhirnya hari itu juga Nova nanya sama k’Abu
“ka’, k’Abu, jadian ya sama Dea…”
“ enggak kok, kita Cuma adik kakak aja..”
“ Adik kakak tapi kok m,esra banget k’..”
“ah… biasa aja deh…”
“ OOOhhh…”
Nova menunggalkan k’Abu, nova kira k’Abu bakal membuka hatinya lebih besar lagi untuk Nova tapiu nyatanya “TIDAK”,, rasa akit hati terus menghantui Nova…
Ketika Nova keluar rumahh, Nova melihat k’Abu adda di rumah Rani, padahal Rani itu saudara nova dan rumahnya pun berdekatan, tapi Nova hanya bisa diam ketiika melihat k’Abu ada di rumah Rani…
Nova pun langsung masuk rumah dan menangis.. di dalam kamarnya, Nova hanya dapat menangis, menangiss, dan menangis ketika melihat k’Abu begitu dekat pul;a dengan Rani…
KEESOKAN HARINYA Nova ketika di sekolah curhat kembali dengan k’Dwi…
“k’, kemarin gw lihat k’Abu ada di rumah rani..”
“emangnya ngepain k’Abu di rumsh Rani..?”
“ gw juga gak tau k, pas gw liat k’Abu di rumah Rani gw nangis di kamar gw k’…’
“ Nova… Nova,,,, mwndingan loe lupain k’Abu aja dari pada loe harus terus-terusan sakit hati kaya gini…
“enggak bisa k’, gw masih sayang banget sama k’Abu..”
“dia tuh gak mikirin perasaan loe kaya gimana padahal kan dia tahu kalau loe suka sama k’abu…
“setelsh k’Dwi bicara seperti itu nova hanya bisa diam… dan Nova pun gak tahu kenapa bisa sayang banget sama k;’Abu pdahal udah sering di bikin sakit hati dan kecew sama k’Abu..”
Dan Nova puin sms k’Abu…
“Ass,,, k’ makasih ya udah ngasih nova luang buat suka sama kakak walau Cuma sedikit..”
“Wal,,, maksudnya nova apa nihhh!!!”
“ iya makasih kakak udah bolehin nova buat suka sama k’Abu..”
“ kenapa harus bilang makasih..”
“ enggak kenapa-napa, Nova tahu k’Abu lebih milih Dea dan Rani dari pada Nova..”
“ enggak gitu juga kok..”
“ya sudah k’ nova Cuma bisa bilang cukup tahu aja sama k’Abu yang gak pernah mikirin perasaan orang kaya gimana….”
Berhentilah Nova smsan sama k’Abu…. Nova pun terus berharap walau pun ia sering di buat kecewa pada k’Abu… walau sampai saat ini k’Abu tidak pernah sadar kalau Nova sayang banget sama k’Abu….
Sampai saat ini cinta nova masih saja bertepuk sebelah tangan,,,, sampai kapan Nova menemukan cinta sejatinya yang tulus mencintainya dari hati….
K`Abu dapat amanat dari orang tua kelas satu untuk jagain Dea, padahal k`Abu tahu kalau Nova suka sama k’Abu…
Waktu Dea sakit, k’Abu kayaknyamesra banget sama Dea begitu pun Dea sangat manja sekali sama k’Abu, di satu sisi Nova sangat sayang sekali pada k’Abu…
Suatu ketika Dea pulang bareng dengan k’Abu, nah kebetulan Nova melihat Dea di boncengi motyor dengan k’Abu… tapi apa k’Abu tidak menjaga persaan Nova yang sedang sakit hati ngeliat mereka berduaan….
Terpaksa niva harus curhat sama kakak kelas yang lain yaitu Dwi orang yang Nova percayai untuk menampung curhatannya…
“k’Dwi kayaknya k’Abu suka deh sama Dea….”;
“ ya sudah loe jangan ngarepin k’Abu terus, kan masih babnyak cowo lalin yang lebih baik…”
“iya… k’, gw tau tapi gimana sih namanya juga udah terlanjur sayang susah untuk di lupain…”
“iya sih,,, tapi kan dari pada loe terus-terusan di buat sakit hati sama k’Abu..”
“Duhhh k’ enggak gampang buat ngelupain gitu aja gw udah sayang banget sama k’Abu..”
Ya gw sih kasihan aja liat loe terus sakit hati karena ngeliat mereka mesra-mesraan..”
Sebenarnya Dwi kasihan dengan Nova tapi n mau giman lagi novanya pun udah terlanjur sayang sama k’Abu, ya jadi Dwi hanya bisa diam saja mau ngelarang Nova buat ngeliupapin tapi Novanya sasja enggak bisa ngwlupain k’Abu…”
Dwi juga sempat bingung melihat keadaan sekarang , tapi Dwi mau gimana lagi, itu kan udah hak k’Abu mau suka sama asiapa dann Dwi juga gak bisa maksa k’Abu untuk suka sama Nova….
Akhirnya Nova hanya bia sakit hati ketika melihat k’Abu dengan Dea, tapi mau gimana lagi namanya juga udah sayang bsnget susah deh buat di lupain … akhirnya hari itu juga Nova nanya sama k’Abu
“ka’, k’Abu, jadian ya sama Dea…”
“ enggak kok, kita Cuma adik kakak aja..”
“ Adik kakak tapi kok m,esra banget k’..”
“ah… biasa aja deh…”
“ OOOhhh…”
Nova menunggalkan k’Abu, nova kira k’Abu bakal membuka hatinya lebih besar lagi untuk Nova tapiu nyatanya “TIDAK”,, rasa akit hati terus menghantui Nova…
Ketika Nova keluar rumahh, Nova melihat k’Abu adda di rumah Rani, padahal Rani itu saudara nova dan rumahnya pun berdekatan, tapi Nova hanya bisa diam ketiika melihat k’Abu ada di rumah Rani…
Nova pun langsung masuk rumah dan menangis.. di dalam kamarnya, Nova hanya dapat menangis, menangiss, dan menangis ketika melihat k’Abu begitu dekat pul;a dengan Rani…
KEESOKAN HARINYA Nova ketika di sekolah curhat kembali dengan k’Dwi…
“k’, kemarin gw lihat k’Abu ada di rumah rani..”
“emangnya ngepain k’Abu di rumsh Rani..?”
“ gw juga gak tau k, pas gw liat k’Abu di rumah Rani gw nangis di kamar gw k’…’
“ Nova… Nova,,,, mwndingan loe lupain k’Abu aja dari pada loe harus terus-terusan sakit hati kaya gini…
“enggak bisa k’, gw masih sayang banget sama k’Abu..”
“dia tuh gak mikirin perasaan loe kaya gimana padahal kan dia tahu kalau loe suka sama k’abu…
“setelsh k’Dwi bicara seperti itu nova hanya bisa diam… dan Nova pun gak tahu kenapa bisa sayang banget sama k;’Abu pdahal udah sering di bikin sakit hati dan kecew sama k’Abu..”
Dan Nova puin sms k’Abu…
“Ass,,, k’ makasih ya udah ngasih nova luang buat suka sama kakak walau Cuma sedikit..”
“Wal,,, maksudnya nova apa nihhh!!!”
“ iya makasih kakak udah bolehin nova buat suka sama k’Abu..”
“ kenapa harus bilang makasih..”
“ enggak kenapa-napa, Nova tahu k’Abu lebih milih Dea dan Rani dari pada Nova..”
“ enggak gitu juga kok..”
“ya sudah k’ nova Cuma bisa bilang cukup tahu aja sama k’Abu yang gak pernah mikirin perasaan orang kaya gimana….”
Berhentilah Nova smsan sama k’Abu…. Nova pun terus berharap walau pun ia sering di buat kecewa pada k’Abu… walau sampai saat ini k’Abu tidak pernah sadar kalau Nova sayang banget sama k’Abu….
Sampai saat ini cinta nova masih saja bertepuk sebelah tangan,,,, sampai kapan Nova menemukan cinta sejatinya yang tulus mencintainya dari hati….
Cinta sepotong Mimpi
12.36
Artikel By
Kakunik
Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.
Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.
***
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.
Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.
***
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku......
sumber : Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H - ceritacinta.net
Baca Lebih Lanjut
Kategori:
cinta
Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.
***
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.
Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.
***
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku......
sumber : Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H - ceritacinta.net
Mencintaimu
12.28
Artikel By
Kakunik
Jam 02.03 aku menulis puisi ini
waktu sudah menunjukan pagi
aku selalu bertanya pada disi sendiri
kenapa akau harus memikirkan
seseorang yang telah pergi
apakah dia kan kembali
ataukah sudah punya pilihan hati
itu yang selalu aku pikirkan
disini aku memikirkanmu
ditemani sepi, sunyi sendiri
suara angin cahaya bintang,bulan
yang menjadi teman
kekasih yang telah pergi
mungkinkah engkau kan kembali
apa gunanya aku memikirkanmu
tapi engkau mengacuhkanku
kekasih kembalilah
jujur aku masih mencintaimu
setiap hari aku menunggumu
setiap waktu aku memikirkanmu
hanya rasa sakit yang ku alami
bagaimana aku harus mengobati
andaikan dulu aku tak mengenalmu
pasti aku tak pernah mencintaimu
karena takdir tuhan kita dipertemukan
tapi kenapa di pisahkan.
Langganan:
Postingan (Atom)