Benarkah Sahabat Adalah Musuh yang Tak Kelihatan?


1312423956430684690
pic.getty image
Mungkin anda pernah dengar lagu “That’s What Friends Are For ?” Lagu ini dibawakan melalui satu Kolaborasi indah yang terdiri dari Gladys Knight, Elton John dan Stevie Wonder. Dirilis untuk sebuah kegiatan amal di Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1985. Saya ingin mengutip sebagian dari liriknya,

“In good times. And bad times


I’ll be on your side forever more


That’s what friends are for.”

Wow.. indah sekali kata-katanya. Senangnya bisa memiliki sahabat dalam segala keadaan. Mereka selalu mengisi setiap lembar hidup, selalu mengerti dan memahami kita. Hidup akan terasa lebih indah dan penuh warna.
Suatu kali seorang teman bercerita kepada saya. Dia memiliki banyak sekali teman namun tidak satupun yang dekat dengannya. Saya bertanya mengapa ? Dia hanya menjawab, sahabat dan musuh itu terlalu tipis batasanya. Menurutnya, justeru sahabat itu adalah musuh yang tidak terlihat oleh kita. Kita kadang terlena melihat segala sesutau hanya dengan kedua mata, tetapi tidak melihat dengan hati. Tak selamanya kebaikan itu benar dan kejahatan itu buruk. Baginya tidak ada teman yang tulus. Wah, ternyata teman saya ini mengalami trauma yang cukup berat dengan para sahabatnya.
Dia kemudian menasehati saya, sebaiknya tidak usah berteman terlalu dekat. Kalaupun memiliki teman, sebaiknya hal yang terlalu privasi jangan terlalu diumbar. Begitu juga dengan frekuensi bertemu atau kontak, tidak harus rutin dan terjadwal. Justeru dengan begitu pertemanan dapat awet. Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga apa yang disampaikan teman saya ini.
Satu pernyataan yang membuat saya cukup kaget ketika dia berpendapat kalau perempuan rentan mengalami hal seperti ini. Dimana teman dengan mudah dapat menjadi musuh. Lagaknya sepertii seorang psikiater, dia memberi pandangan-pandangan dengan alasan-alasan yang cukup masuk akal, dan tentu saja bertujuan menasehati saya.
Saya kemudian sempat beradu arugmen dengan dia, bahwa walau bagaimanapun setiap orang membutuhkan seorang sahabat atau teman, tidak mungkin kita menjadi autis berdiam diri di rumah dan jauh dari pergaulan. Tapi memang dasar teman saya pinter ngomong, diapun menangkis. Menurut dia boleh-boleh saja memiliki teman sebanyak-banyaknya tetapi harus tetap mempertimbangkan beberapa hal yang sudah dia sampaikan tadi.
Sahabat hanya bisa dinikmati pada saat kita sekolah dahulu. Ketika Sekolah dasar hingga mungkin di perguruan tinggi. Setelahnya kita akan hidup sendiri dan sibuk dengan kepentingan masing-masing di dunia kita sendiri, misalnya keluarga dan pekerjaan.
Jadi menurutnya, jangan terlalu memiliki keinginan lebih untuk memiliki sahabat saat ini. Kalaupun ada atau mereka hadir kembali dalam hidup kita, harus dianggap sebagai teman biasa. Jangan terlalu senang dulu, karena itu semua semu semata. Hmm.. pernyataan ini cukup keras menurut saya.
Setelah beberapa waktu berlalu, sayapun teringat kembali akan kata-katanya pada saat mendengarkan lagu tadi. Jujur saja, saya sangat merindukan sahabat-sahabat saya dulu. Walaupun mungkin kata-kata teman tadi benar, namun sahabat-sahabat saya masih tetap ada dihati sampai saat ini. Tentu tidak semua sahabat berperilaku buruk. Baik dan buruknya mereka adalah tetap sahabat-sahabat saya.
Lebih dari semuanya itu, saya sangat berbahagia lagi masih memiliki banyak teman di sini, walaupun hanya lewat tulisan dan komentar, walau belum saling kenal secara dekat dan tak pernah bertatap muka namun kehangatan persahabatan yang ditawarkan di sini membuat saya merasa kita sudah merupakan satu keluarga besar di rumah sehat ini. Indahnya duniajika kita semua bisa saling menghargai dan menyayangi satu dengan lainya.




Sumber

Artikel Terkait: